Kakao: Emas Coklat Dari Lampung Timur

Oleh Pdt. Theofilus Agus Rohadi, S.Th.          

Desa Caturswako dan desa Sukadanabaru adalah dua desa di mana jemaat GKSBS Batanghari berada, dengan mayoritas penduduknya adalah petani perkebunan kakao. Jenis Kakao yang dikembangkan di dua desa ini adalah MCC (Masamba Cacao Clone), asal Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kakao jenis ini memiliki potensi produksi yang tinggi dan kualitas biji yang baik, berbuah besar dan bijinya sebesar ibu jari, memiliki warna kemerahan ketika mulai masak di batang. Jenis kakao MCC ada dua, yaitu MCC 01 dan MCC 02. Penduduk dan warga jemaat gereja di dua desa ini menanam kakao jenis ini dengan masa tanam 3 tahun, buah kakao sudah bisa dipetik dan menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan. Warga gereja di dua desa ini cukup terbantu dengan tanaman kakao ini, bahkan mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi di Lampung atau di pulau Jawa dan beberapa daerah lain dari hasil kakao.

Multiplikator Stube-HEMATdi Lampung bersama pemuda gereja melakukan pengamatan dan belajar bersama dalam rangka agar mampu mengolah biji kakao menjadi produk turunan seperti bahan olahan rumah tangga (30/07/2023). Pertama, diawali dengan meninjau langsung perkebunan kakao milik warga gereja GKSBS Batanghari, Lampung Timur dan milik warga masyarakat yang ada di sekitar gereja yang berada di desa Caturswako dan Sukadanabaru. Kunjungan lapangan ini memperlihatkan bahwa memang benar biji kakao yang ditanam warga gereja dan masyarakat memiliki kualitas super. Hal ini bisa dilihat dari buah kakao yang cukup besar kurang lebih berbobot 0,5 kg hingga 1 kg per buah, dan saat dikupas nampaklah biji kakao sebesar ibu jari orang dewasa. Biji kakao di daerah Lampung Timur ini dipetik setiap 2 minggu sekali dan dalam 1 tahun petani bisa mendapatkan buah panen raya sekitar 3-4 kali. Pada bulan-bulan biasa para petani bisa memanen 30-50 kg per ¼ Ha, dengan harga 16.000,- per kilo setelah dijemur 2 jam. 

Multiplikator Stube-HEMAT di Lampung dan para pemuda gereja menemukan fakta bahwa para petani sudah merasa cukup puas dengan penjualan biji kakao yang masih basah, tanpa pengolahan lanjut. Apabila dibandingkan dengan pemasaran kakao yang sudah diolah, sebagai contoh dengan melakukan fermentasi, maka nilai ekonomisnya akan naik menjadi 40-55% per kilo. Apalagi jika biji kakao super ini diolah menjadi olahan coklat yang manis seperti dijajakan di pasar dan swalayan, tentu petani akan mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Hal ini belum terpikirkan oleh para petani untuk dapat mengolah hasil kakao mereka menjadi bahan olahan yang bernilai lebih ekonomis.

Kerinduan untuk mendapatkan “harga yang adil“ bagi petani inilah yang mendorong Multiplikator Stube-HEMAT di Lampung untuk dapat belajar mengolah kakao menjadi olahan produk rumah tangga petani di desa Caturswako dan Sukadanabaru. Pengalaman belajar bersama dengan Stube-HEMAT Yogyakarta yang memfasilitasi kunjungan-studi di desa Nglanggeran, Gunung Kidul yang mampu mengolah coklat menjadi produk turunan di “Griya Coklat”nya, sangat menginspirasi pemuda dan warga jemaat yang ada di Lampung Timur. Dengan potensi kebun coklat warga jemaat gereja di dua wilayah ini yang mencapai kurang lebih 10 hektar, tentu saja menjanjikan prospek untuk kesejahteraan warga, gereja dan masyarakat setempat.

Kami terus berproses bersama jemaat dan warga masyarakat untuk belajar mengolah kakao menjadi produk turunan di Lampung Timur, dengan mencari informasi, membaca, berjejaring dan berkolaborasi dengan pihak-pihak manapun yang mengetahui seluk-beluk kakao dan produk turunannya sampai mendapat hasil yang diharapkan. Kakao Lampung Timur bagaikan emas coklat yang menghias indah di kebun kami, sayang kami belum mampu mengelolanya dengan optimal. ***

Komentar