Oleh: Mega Friska Andini.
Kesehatan masyarakat Indonesia sebagaimana standard yang berlaku belum ideal terwujud sehingga perlu diperjuangkan dan diupayakan bisa merata. Ada usaha-usaha peningkatan kesehatan melalui peningkatan kesadaran khususnya di kalangan anak muda melalui edukasi dan pelatihan. Salah satu upaya ini dilakukan oleh Stube HEMAT di Lampung untuk membekali anak muda sadar kesehatan, khususnya topik stunting melalui diskusi di Pondok Diakonia Batanghari (20/3/2022).
Kegiatan diskusi dimulai dengan pengantar Stube HEMAT oleh Pdt. Theofilus Agus Rohadi, S.Th., Multiplikator Stube-HEMAT di Lampung. Pembicara diskusi adalah Sulistiyani, pelaksana kesehatan lapangan di Kecamatan Marga Tiga, yang menyampaikan bahwa stunting secara umum bisa dilihat dari anak dengan perawakan pendek, mengalami gangguan pertumbuhan karena masalah nutrisi. Stunting adalah kondisi kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek pada balita. Anak dengan stunting terlihat saat usia 2 tahun dengan tinggi badan dan panjang tubuhnya minus 2 dari standar Multicentre Growth Reference Study atau standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Stunting ditentukan pada awal kehidupan yakni dipengaruhi 1.000 hari pertama sampai usia dua tahun. Gangguan pertumbuhan akan merugikan bagi anak. Di Indonesia, kondisi anak dengan stunting berada di urutan kedua terparah di ASEAN.
Listiyani menyampaikan
bahwa gizi buruk pada ibu hamil dan bayi merupakan faktor utama yang menyebabkan
anak balita mengalami stunting yang berdampak permanen. Stunting
dipengaruhi faktor lingkungan dan genetik. Faktor lingkungan antara lain
kurangnya edukasi soal asupan gizi saat hamil, kurangnya gizi saat bayi lahir
hingga usia 2 tahun, kondisi kesehatan ibu yang rendah, sanitasi dan kebersihan
lingkungan yang buruk dan infeksi penyakit. Meski stunting tidak bisa diobati,
namun faktor lingkungan adalah aspek yang masih dapat diintervensi sehingga
perawakan pendek dapat dicegah, yakni dengan memeriksa kehamilan secara
teratur, menghindari asap rokok dan kecukupan nutrisi selama masa kehamilan, rutin
memantau kesehatan dan kondisi janin sampai pasca melahirkan, mengikuti program
imunisasi terutama imunisasi dasar secara teratur dan memberikan ASI eksklusif
sampai anak berusia 6 bulan dan pemberian MPASI (makanan pendamping air susu
ibu) yang memadai. Bisa dipahami bahwa faktor genetik dan hormonal juga
memiliki peran dalam perawakan manusia, namun sebagian besar stunting
disebabkan kekurangan gizi.
Pada tahun 2019, lebih dari 27,7 % balita Indonesia mengalami stunting. Kondisi ini bisa disebabkan beragam aspek, dari ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan tahun 2021 membaik karena mengalami penurunan menjadi 24,4 %. Berkaitan program Stube HEMAT di Lampung ini, Listiyani sungguh mengapresiasinya karena penyadaran harus dilakukan sejak dini karena anak-anak muda ini akan berkeluarga dan memiliki anak.
Program kesehatan
tentang stunting untuk anak muda khususnya di Pondok Diakonia Batanghari juga
akan berdampak besar bagi pertumbuhan generasi yang akan datang, karena pemuda
dan keluarga muda bahkan para orang tua, berkontribusi untuk pencegahan
stunting. Perlu rancangan program yang berkelanjutan sehingga stunting bisa
dicegah, anak sehat dan keluarga bahagia. ***
Komentar
Posting Komentar