Oleh Theofilus Agus Rohadi, S.Th
Kegiatan Fokus
Group Diskusi menjadi
pilihan kegiatan pertama yang dilakukan
program Multiplikasi Stube HEMAT di Lampung untuk menemukan secara bersama
hal-hal penting yang ada di masyarakat Lampung, salah satunya adalah pembahasan “Piil
Pasenggirri”. Kegiatan ini berlangsung di Pondok Diakonia GKSBS Batanghari (25/07/2020)
Lampung dan melalui
kegiatan ini diharapkan para peserta semakin menemukan nilai-nilai positif dalam
kehidupan asli masyarakat Lampung, dan mampu membangun relasi yang baik
dengan orang-orang suku asli Lampung. Peserta juga akan memiliki pemahaman
yang benar mengenai falsafah “Piil Peseggiri” dalam konteks masyarakat Lampung, menemukan nilai-nilai positif dari “ Piil Peseggiri”
dalam membangun kehidupan bersama dengan orang lain.
Pendeta Theofilus Agus
Rohadi, S.Th selaku Multiplikator Stube Hemat yang ada di Lampung menyampaikan
sesi pengantar yang menjelaskan secara singkat Mutliplikasi Stube HEMAT yang ada di daerah ini.
Sementara Grace
Purwo Nugroho S.H, seorang pengacara sekaligus direktur Yayasan Bimbingan
Mandiri Indonesia, menjadi nara sumber dalam FGD tersebut. Acara dipandu oleh pembawa acara
Linda lestari, siswa
asuh di Pondok Diakonia dan sesi diskusi dimoderatori oleh Beta, mahasiswa Teknik Sipil dari Univertas Bandar
Lampung.
Dalam FGD ini narasumber meyampaikan bahwa konteks
masyarakat Lampung
terdiri dari Lampung pesisir dan lampung pedalaman. Dalam masyarakat Lampung, “Piil Pasenggiri” dipahami sebagai aturan
norma dan etika moral kehidupan masyarakat Lampung, yang sangat kuat dijadikan
sebagai falsafah hidup. Masyarakat Lampung menjunjung tinggi nilai
hidup untuk bisa
menjadi orang yang terhormat dan dihargai oleh orang lain. Dalam rangka mencapai hal-hal
tersebut, penduduk
Lampung harus melakukan hal-hal yang baik dan terhormat, membuka diri kepada
orang lain, hidup membaur dengan orang lain, dan hidup bergotongroyong. Namun dalam prosesnya,
falsafah
hidup yang baik ini menjadi rusak oleh karena arogansi kesukuan dan kurangnya
pemahaman beberapa orang yang melakukan kekerasan dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai
dengan “Piil
Pasenggiri”. Di sisi lain, orang-orang lain dari suku yang
bukan asli Lampung merasa dirinya sebagai pendatang dan tamu di Lampung,
walaupun mereka lahir dan hidup di bumi Lampung.
Narasumber menyampaikan, seharusnya ada 2 pihak
yang melakukan upaya bersama untuk menjaga kehidupan di Lampung tetap aman dan
damai yakni dari
suku asli Lampung seharunya memahami Piil Pasengiri sebagai moto hidup malu
jika tidak melakukan hal-hal yang baik dalam hidunya. Harga diri bukan dilihat
dari besar dan kuatnya otot, melainkan harga diri mucul kalau tidak melakukan hal-hal
yang baik, sementara dari suku di luar suku asli Lampung, misalnya suku Jawa, suku Sunda, suku Padang, suku Ambon dan lain sebagainya, hendaknya hidup dengan
menyakini bahawa dirinya adalah orang Lampung yang juga berhak hidup dan
mengupayakan cara hidup yang terhormat, yaitu melakukan hal-hal yang baik dan
benar dalam kehidupan sehari-hari.
Hal menarik ketika para mahasiswa mengajukan pertanyaan, seperti: 1) dalam hal apa, dan bidang apa orang asli Lampung bisa diajak dan mudah bekerjasama; 2) bagaimana pandangan hukum soal pernikahan pelarian dalam masyarakat Lampung; 3) seberapa besar pengaruh “Piil Pasenggiri” dalam masyarakat Lampung; dan 4) mengapa sering kali konflik yang terjadi di Lampung dilatar belakangi persoalan dengan suku Lampung.
Dengan
memahami konsep “Piil Pesenggiri”, di akhir diskusi peserta memiliki pemahaman yang benar
atas
suku Lampung, sehingga tidak
memiliki stereotip negatif dan berlebihan kepada masyarakat asli Lampung, bahkan konsep
ini juga bisa
dipakai oleh mahasiswa, pelajar, dan pemuda Kristen ketika menjadi masyarakat Lampung.
Para peserta diskusi termotifasi untuk membangunan komunikasi dan interaksi
dengan suku lampung dalam rangka mengembangkan potensi diri, komunitas dan
propinsi Lampung. ***
Komentar
Posting Komentar